ISU TAPAL BATAS DAN NASIONALISME

Beberapa hari belakangan sebuah isu sensitif tentang pergeseran tapal batas Indonesia mengemuka dalam perbincangan publik. Berawal dari pernyataan Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin yang menyatakan bahwa  telah terjadi pergeseran batas patok tapal batas wilayah RI – Malaysia. Akibat pergeseran patok itu, Indonesia berpotensi kehilangan 1400 ha di Camar Bulan dan 80.000 meter persegi pantai.(http://palingseru.com). Sementara Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menyatakan, pihaknya berpatokan pada MoU 1978 antara Indonesia dan Malaysia terkait wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu. TNI mendukung jika memang Indonesia ingin memperjuangkan wilayah tersebut sesuai Peta Belanda Van Doorn 1906. (http://www.dephan.go.id).

Sudah menjadi mafhum umum bahwa Indonesia adalah Negara yang amat luas. Negeri ini   memiliki  1,86 juta km2 daratan, 3,2 juta km2 lautan, dan 17.504 pulau. Wilayah seluas itu selain memberikan keuntungan juga memberikan “masalah” bagi pemimpin negeri ini, terutama masalah yang berkaitan dengan daerah perbatasan. Terdapat empat propinsi di Indonesia yang daratannya berbatasan dengan negara lain, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), keseluruhannya meliputi 15 kabupaten. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini (PNG), Australia, dan Timor Leste. Repotnya Paradigma di masa lalu menganggap kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa dearah menjadi kurang tersentuh dunamika pembangunan. Sebaliknya, Negara tetangga (seperti Malaysia misalnya) begitu agresif dan progresif mengembangkan kawasan perbatasan, sehingga menjadi sentra pertumbuhan bisnis yang menggiurkan, yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai konsekuensi logis, masyarakat setempat menjadi berorientasi kepada Negara tetangga. Hal tersebut tentu saja menimbulkan semacam kecemburuan sosial bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan yang masuk Indonesia. Jangan heran jika masyarakat Indonesia di perbatasan, lebih menikmati siaran televisi dari Malaysia, lebih hapal dengan nama-nama pejabat Malaysia, bahkan menggunakan ringgit Malaysia sebagai alat transaksi perdagangan.(http://hankam.kompasiana.com).

 

NASIONALISME & PROBLEM TAPAL BATAS

 Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa”. Pengertian “bangsa” ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsa” kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Dalam wacana ilmu politik mutakhir, pengertian “bangsa” lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999). Penduduk pesisir timur Sumatera (yang ber”bangsa” Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang ber”bangsa” Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Mereka pun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasi” sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasi” sebagai satu “bangsa” dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang “sama” bisa menjadi “bangsa” yang berbeda, sementara yang “tidak sama” bisa menjadi satu “bangsa”.

Karena itulah, nasionalisme sesungguhnya adalah ide absurd, tidak mengandung suatu hakikat pengertian yang pasti. Nasionalisme adalah ide yang kosong dari makna-makna yang konkret. Nasionalisme lebih mengandalkan sentimen atau emosi yang semu, yang dibangkitkan sewaktu-waktu sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan sempit penguasa. Nasionalisme tidak bertolak dari ide yang lahir melalui proses berpikir yang benar dan sadar. Sesungguhnya eksistensi ikatan Nasionalisme dan Patriotisme lebih dipengaruhi “unsur ancaman dari luar”. Jika pihak yang merasa satu Bangsa mendapat ancaman dari ekternal maka secara otomatis ikatan ini menguat, sebaliknya jika tidak merasa mendapat ancaman, ikatan ini melemah dengan sendirinya. Maka  dari itu, isu tapal batas adalah isu sensitif yang dapat menggambarkan adanya  ancaman dari luar sebagai upaya untuk meningkatkan  rasa nasionalisme suatu bangsa yang mulai pudar.

Umat Islam sendiri tidak pernah mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad, hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M.  Secara syar’i, umat Islam diharamkan mengadopsi nasionalisme karena nasionalisme bertentangan dengan prinsip kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Kesatuan umat Islam wajib didasarkan pada ikatan aqidah, bukan ikatan kebangsaan, seperti nasionalisme. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (QS Al Hujurat : 13)

Ayat di atas menunjukan bahwa Umat Islam adalah bersaudara (ibarat satu tubuh), yang diikat oleh kesamaan Aqidah Islamiyah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Rasulullah SAW bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah (fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang bertentangan dengan Islam, termasuk nasionalisme :

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,… (TQS. Al Imran : 103)

“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)

Maka Jelaslah, ikatan yang layak di antara umat Islam hanyalah ikatan keimanan. Bukan ikatan kebangsaan. Namun serangan pemikiran orang – orang kafir untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme begitu kuat sehingga membuat ummat ini menjadi terpecah – belah, termasuk perpecahan dan pertentangan antara 2 negeri muslim : Indonesia dan Malaysia.  Berbagai konflik kesejarahan telah meningkatnya nasionalisme di wilayah Indonesia dan sekaligus melanggenggkan pertentangan antara ke dua negeri ini. Beberapa hal yang memicu konflik kedua Negara diantaranya : Gerakan Ganyang Malaysia pada tahun 1963, Sengketa Sipadan (luas: 50.000 meter²) dan Ligitan (luas: 18.000 meter²) serta perebutan atol (karang laut) di ambalat.

Ironisnya perselesihan antar negeri muslim seperti Indonesia dengan Malaysia cenderung menjadi isu sensitif dan berkepanjangan, padahal jika ditelesuri lebih dalam ada banyak kegiatan “pencaplokan” wilayah Indonesia yang dilakukan oleh pihak asing (Negeri non islam) namun luput dari perhatian public. Pada tahun 1976, PM Singapura Lee Kwan Yew mengumumkan sebuah proyek besar penambahan luas wilayah Singapura lewat jalan reklamasi pantai-pantainya. Lee mencanangkan, gerakan reklamasi pantai-pantai negaranya akan terus dilakukan hingga tahun 2030, yang berarti dilakukan selama lebih kurang 54 tahun, dan memerlukan pasir sebanyak 8 miliar kubik. Proyek reklamasi pantai Singapura ini telah berhasil menyelesaikan penambahan wilayah pantai seluas 100 kilometer persegi (Kompas, 16 Mei 2002). Dalam rencana Singapura, setidaknya negara ini harus mereklamasi wilayah pantainya seluas 260 kilometer persegi, sehingga tinggal 160 kilometer persegi lagi pantai yang akan direklamasi. Untuk itu semua dibutuhkan timbunan pasir sebesar 1, 8 miliar meter kubik. Hasilnya, tahun 1991 luas wilayah Singapura tercatat hanya 633 kilometer persegi, namun pada tahun 2001 wilayah Singapura bertambah luas menjadi 760 kilometer persegi atau bertambah luas 20 persen dalam waktu sepuluh tahun! (http://www.eramuslim.com). Dan pada saat bersamaan sejumlah pulau di wilayah Riau yang hilang karena pasirnya dijual / diselundupkan ke singapura. Akibatnya luas wilayah Indonesia berkurang sementara garis pantai singapura malah bertambah.

Sementara itu sejumlah penyerahan wilayah kepada asing justru dilakukan secara legal melalui berbagai kebijakan bidang ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Marwan Batubara (Direktur Eksekutif IRESS), disebutkan bahwa penyerahan Blok Cepu kepada ExxonMobil, membuat kesempatan negara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan migas di wilayah tersebut lenyap. Akibat kebijakan itu, diperhitungkan, negara hanya menerima 54 % dari pendapatan total Blok Cepu (yang dapat mencapai 165,74 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1500 triliun), jauh dari yang digembar-gemborkan selama ini yaitu sebesar 93,5 %.

Blok Natuna D Alpha merupakan aset strategis lain yang kini terancam jatuh (kembali) dalam penguasaan dan eksploitasi asing. Blok Natuna merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia, dengan potensi mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas (sesuai data yang dikeluarkan ExxonMobil). Dengan potensi sebesar itu, wajar jika Natuna menjadi incaran berbagai perusahaan minyak multinasional. Ironisnya Sesuai dengan PSC yang ditandatangani pada 9 Januari 1985, sebagaimana telah diamandemen pada 9 Januari 1995, ditetapkan bahwa negara sama sekali tidak menerima bagi hasil dari kegiatan eksploitasi gas di Natuna (0%). Keseluruhan hasil dinikmati oleh ExxonMobil (100%). Sedangkan negara hanya mendapat bagian dari pajak yang disetorkan ExxonMobil.

Kemudian Wilayah Ertsberg dan Grasberg di Papua yang dikelola PT Freeport merupakan daerah pertambangan dengan cadangan emas terbesar di dunia (ketiga terbesar untuk tembaga). Tercatat, cadangan emas yang dimiliki kawasan ini sekitar 40 juta ons emas, 25 milyar pon tembaga, dan 70 juta ons perak. Nilai secara keseluruhan mencapai sekitar 40 milyar dolar AS. PT Freeport mulai beroperasi sejak tahun 1967 dan saat ini Freeport telah memperoleh KK II Generasi V yang memperpanjang konsesi kontrak hingga 2021. Dari perpanjangan kontrak ini, royalti yang diberikan Freeport kepada pemerintah hanya 1% untuk emas dan 1,5-3,5% untuk tembaga. Sehingga, penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen PT Freeport hanya berkisar 1,112 miliar dolar AS saja (berdasarkan data tahun 2005). Jumlah penerimaan negara tersebut masih sangat kecil dibandingkan pendapatan yang diperoleh Freeport, yaitu mencapai sekitar 4,179 miliar dolar AS. Sementara itu, Freeport hanya menyumbang 1 juta dolar AS untuk dana pengembangan masyarakat Papua. (http://iress.web.id).

 

Khatimah

Isu tapal batas bukanlah dijadikan obyek untuk meningkatkan rasa nasionalisme yang akan memperkuat kekuasaan pemerintah. Karena dengan isu tersebut, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat bisa teralihkan sekaligus ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Sebagaimana kebijakan rencana naiknya TDL, tarif tol, isu reshuffle, dan isu lainnya. Pemerintah harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat di wilayah tapal batas tanpa diskriminasi sebagaimana di wilayah lain, Karena rakyat di wilayah tapal batas menjadi tanggung jawab pemerintah. Wallahu a’lam bi ashowab

Tinggalkan komentar