HIKMAH DIBALIK SEJARAH PENGORBANAN AGUNG

Idul Adha adalah Hari Raya yang selalu kita peringati setiap tahunnya. Yaitu Ied untuk mengingat kembali peristiwa pengorbanan 4000 atau 4500 tahun silam melalui Nabi Ibrahim dan Ismail.  Nabi Ibrahim ketika itu dia mendapatkan wahyu untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Padahal, Ismail adalah anaknya yang pertama dan telah ditunggu-tunggunya dalam waktu yang lama. Bagaimana perasaan orang tua jika dia baru saja dikarunia seorang anak dan kemudian Allah menyuruhnya untuk menyembelihnya. Awalnya, Nabi Ibrahim khawatir, akan tetapi sang anak sungguh memberikan jawaban layaknya seorang anak sholeh. Ketika akan disembelih, Ismail berkata kepada ayahnya : “ abi, aku mohon umtuk diasah terlebih dahulu pisaunya, agar nanti ketika disembelih aku tidak merasakan sakit. “

Saat-saat yang mendebarkan bagi Nabi Ibrahim waktu itu, ketika akan menaruh belati atau pisaunya di leher anaknya, muncul iblis yang mengganggu, Wahai Ibrahim, itu anakmu sendiri. Apa kau tidak merasa kasihan terhadap anakmu. Setelah kau menanti-nanti hadirnya seorang anak dalam hidup. Eh, sekarang kau malah ingin menyembelihnya. Apa kau tidak merasa kasihan wahai Ibrahim ?. Ibrahim tahu bahwa itu adalah bisikan iblis, maka ia melempar iblis itu dengan batu dan godaan itu muncul tidak hanya sekali, tetapi tiga kali. Dan tiga kali pula ia melemparkan batu itu. Dan sejarah melempar iblis ini terabadikan dalam haji yaitu melempar jumrah. Ketika godaan itu hilang, langsung Ibrahim menyembelih anaknya. Terjadilah sebuah keajaiban. Ternyata bukan Ismail yang ia sembelih melainkan seekor domba. Ibrahim kaget bukan main,beliau pun bersyukur kepada Allah. Kisah ini Allah abadikan dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shaffaat ayat 100-111.

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang sholeh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”

Dalam tafsir Ibnu katsir dijelaskan mengenai “Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” maksudnya bahwa Ibrahim memberitahukan mimpinya kepada Ismail agar perintah tersebut menjadi ringan baginya sekaligus untuk menguji kesabaran, ketangguhan, dan kemauan kerasnya ketika masih kecil untuk taat kepada Allah Ta’ala sekaligus taat kepada ayahnya. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Maksudnya adalah kerjakanlah apa yang menjadi perintah Allah untuk menyembelihku, Ismail akan bersabar dan mengharapkan pahala disisi Allah. Allah Ta’ala berfirman:” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya )” maksudnya bahwa setelah keduanya mengucapkan syahadat dan menyebut Allah Ta’ala  (ada juga yang menyebut kata “Aslama” berarti berserah diri dan pasrah), Ibrahim siap menyembelih dan anaknya siap mentaai orang tuanya. Pada saat Ibrahim menyembelihnya, Ibrahim tidak menatap wajah Ismail agar hal itu meringankannya. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dan Qatadah mengenai firman Allah “Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”, dia mengatakan:”keluar darinya domba dari syurga” dengan demikian manasik dan tempat penyembelihan binatang kurban adalah di Mina bagian dari tanah Makkah, dimana yang disembelih adalah Ismail yang kemudian diganti dengan seekor domba dari syurga oleh Allah SWT. Adapun firman-Nya: Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Maksudnya Allah menghindarkan orang-orang yang mentaati-Nya dari berbagai macam hal yang tidak disukai dan dari kesusahan. Dan dijadikan bagi mereka kelapangan dan jalan keluar urusan mereka.

Dari ayat tersebut, Allah benar-benar menguji Ibrahim kala itu,”sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu ujian yang nyata. Lalu apa balasan untuk Ibrahim ? Allah meneruskan dalam ayat itu, Kami abadikan untuk Ibrahim itu dikalangan orang-orang yang mendatang, yaitu kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Maksud dari Kami abadikan disitu adalah Allah mengabadikan peristiwa itu hingga nanti orang-orang merasakan peristiwa itu, atau yang dikenal dengan Hari Raya Idul Adha.

Hikmah Pengorbanan Ibrahim dan Ismail

Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Ash Shaffat 100-111, Maka ada beberapa pelajaran penting bagi kaum muslimin dalam mewujudkan kecintaan dan keimanan mereka kepada Allah SWT.

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.Ini nampak ketika Nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:
Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.
Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”

Dari peristiwa ini hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

Ketiga, mencintai sesuatu butuh pengorbanan. Semakin tinggi dan agung sebuah ungkapan cinta, kian besar tuntutan nilai pengorbanannya. Adakah ungkapan cinta yang lebih tinggi selain cinta kepada Yang Maha Pencinta, Allah SWT. Dan hal itulah yang ingin ditunjukkan Nabi Ibrahim a.s. Ia harus berkorban. Dengan apa pun, walaupun harus dengan nyawa orang yang paling ia cintai.

Keempat, kadang kedekatan seorang hamba Allah dengan Rabbnya bisa terhalang dengan kedekatan-kedekatan yang lain. Bisa harta, jabatan, isteri atau suami, anak dan cucu. Ada tarik-menarik antara kedekatan-kedekatan itu. Dan setan kerap memainkan kedekatan yang lain itu untuk menggoyahkan komitmen seorang mukmin.

Betapa tidak sedikit seseorang yang akhirnya menjauh dari Allah lantaran orang yang ia cintai pergi untuk selamanya. Ia lupa kalau siapa pun yang tiba-tiba dekat dalam hatinya cuma berlangsung sementara. Ia akan berpisah. Bisa ia yang ditinggalkan, atau ia yang akan meninggalkan. Tak ada yang abadi dalam dunia. Maha Benar Allah dalam firmanNya:

Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.(Al-Anfal: 28)

Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S. At-Taubah: 24)

Alangkah indahnya keteladanan yang pernah diperlihatkan Ibrahim a.s. Ia terbukti mampu menempatkan kecintaan pada Allah di atas kecintaan yang lain. Ia pun sukses mengikat cinta-cinta hati orang-orang dekatnya untuk bersama-sama mencintai Allah SWT.
Idul Adha memiliki makna yg penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah.

Dari sini pula nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah SWT yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah SWT mengabadikannya dengan menjadikan Hari Raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, yaitu bagaimana kita berusaha mewujudkan ketaatan kita kepada Allah dengan menjalankan syari’at-Nya secara kaffah. InsyaAllah dengan mewujudkan syari’at-Nya tersebut akan tercipta kemaslahatan dalam kehidupan kita karena Islam diturunkan oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh Alam. Oleh karena itu, mari kita jadikan Idul Adha ini sebagai momentum untuk kembali kepada syari’at Islam dengan mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan kita dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Pengorbanan Menuju Kemenangan Islam

Pengorbanan yang telah dilakukan khalilullah atau kekasih Allah ini sekarang ini sangat dibutuhkan untuk mencapai tingkatan yang selanjutnya yaitu tho’ah atau ketaatan. Ketaatan tidak akan ada tanpa pengorbanan. Kenapa Allah memilih Ibrahim untuk dijadikan sebagai Bapak para Nabi ? Karena pengorbanannya kepada Allah begitu tinggi sehingga ia melebihkan derajatnya dari Nabi-Nabi lainnya.

Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam(QS Al-Baqarah: 130-132).

Dalam ayat “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Seperti inilah harusnya jawaban yang diberikan oleh kaum muslimin dalam mewujudkan keimanan kepada Allah SWT. Tidak ada pilihan lain, selain tunduk (khudu’) hanya pada Allah. Kaum muslimin wajib taat kepada Allah dengan menjalankan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara kaffah, menjauhkan dirinya dari thaghut dan segala bentuk penghambaan pada aqidah,ide-ide kufur, dan  undang-undang atau hukum kufur. Mereka tidak boleh lagi mengemban sekulerisme, liberalisme bahkan nasionalisme dalam hidupnya. Kaum muslimin tidak boleh lagi menerapkan undang-undang buatan manusia seperti hukum positif Belanda yang bisa mempermainkan perkara di peradilan sehingga hukum hanya melindungi para kapital serta penguasa. Kaum muslimin harus segera mewujudkan ukhuwah islamiyah dengan meninggalkan nasionalisme yang telah memecah belah Islam sehingga Indonesia dan Malaysia bermusuhan, begitu pula dengan Irak dan Iran. Fanatisme golongan atau nasionalisme ini juga telah membawa dampak buruk terhadap saudara-saudara di Palestina, Mesir, Lybia, Ethiopia, Somalia, dan sebagainya. Jika kaum muslimin mau berfikir jernih maka sekaranglah saatnya segera mewujudkan ketaatan kepada Allah dengan kerelaan meninggalkan semua kebiasaan, ide-ide, dan hukum kufur.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS An-Nisaa’: 56)

“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” (QS Al-Maidah: 49).

Sejarah telah membuktikan dengan mewujudkan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah menghantarkan kaum muslimin dalam berbagai kemenangan dan kebangkitan hakiki sehingga Islam menjadi sebuah peradaban besar, menjadi negara super power di dunia. Apa yang diraih kaum muslimin saat itu bukan sebuah hasil tanpa pengorbanan, melainkan sebuah perjuangan dalam mewujudkan perintah Allah agar manusia hanya berhukum pada hukum Allah dengan tuntutan pengorbanan yang besar.

Kaum muslimin harus rela mengalami boikot selama kurang lebih 3 tahun demi mempertahankan Islam, Rasulullah sendiri harus mengalami pengusiran dan dilempari batu ketika menyeru orang-orang Thaif kepada Islam, Mushab bin Umair harus rela saudaranya Abu Aziz bin Umair di tawan oleh kaum muslimin dan memilih untuk terus membela kaum muslimin, Abdurrahman bin Auf  harus merelakan shahabatnya Umayyah bin khalaf (majikan Bilal saat Bilal masih menjadi budak) dibunuh kaum muslimin dalam perang Badar. Berbagai bentuk pengorbanan lain yang telah dilakukan kaum muslimin saat itu demi kemenangan Islam dan tegaknya syari’at.

Oleh karena itu marilah dalam momen Idul Adha ini kita senantiasa meng-upgrade keimanan dan ketaqwaan kita sehingga nantinya akan terbentuk rasa pengorbanan kepada Islam, dengan kuat dan membuat kita senantiasa bersemangat dalam memperjuangkan agama Allah dan menjalankan syari’at-Nya. Tentu saja

Bagi mereka yang ingin mewujudkan ketaatan pada Allah maka Allah memberikan janji sebagaimana firman-Nya:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS At-Thalaq: 2-3). Wallahu A’lam bi showab

Tinggalkan komentar